Friday, October 8, 2021

Surat kepada saudaraku yang terkasih!

Saudara-saudaraku yang terkasih!

Inilah kali keempat saya dapat menyambut Pesta Bapa Serafik Santo Fransiskus dari Assisi. Setiap tahun sejak Postulat di Vietnam, pesta ini selalu meninggalkan kesan bagi saya yang sepertinya semakin menurun. Pesta yang pertama sungguh-sungguh membawa sukacita dengan kegiatan-kegiatan yang bermakna dengan puncaknya adalah Misa dan acara selanjutnya. Di Novisiat, saya juga dapat mengalami sukacita itu dan ditingkatkan dengan mempersiapkan hati jiwa lebih baik melalui rekoleksi, refleksi, doa dsb. Heran bagi saya bahwa rasa suka cita itu berkurang saat di Alverna ini bahkan lebih tertekan dan terasa beban. Di sini, kita merayakan Pesta Bapa kita dengan sangat banyak perlombaan, kegiatan yang beraneka ragam tetapi hati saya merasa kesunyian dan kekosongan. Mengapa begitu?

Mungkin ada banyak hal yang sungguh tidak cocok bagi seorang saudara dina Kapusin. Jelaslah di mana ada perlombaan, di situ ada pujian bagi orang kuat dan penghinaan bagi orang lemah. Yang orang banyak cari dalam perlombaan adalah keunggulan, kemampuan tinggi, talenta dan bakat orang. Pencarian itu memang positif ketika kita diberikan kesempatan untuk menunjukkan kehebatan dan kemampuan kita agar dikembangkan lagi kemudian hari atau dapat digunakan demi kebaikan bersama, entah talenta musik, olah raga, akal budi dll. Namun ketika kita hanya berfokus pada nomor pertama, kita kehilangan persaudaraan yang seharusnya meninggikan yang rendah, menguatkan yang lemah, memperhatikan yang kecil. Mungkin beberapa kali kita tidak mau membiarkan seorang saudara seunit masuk ke dalam pertandingan karena takut akan kegagalan. Dia sendiri yang mengetahui keterbatasannya seharusnya didukung, diberi kesempatan atau secara sederhana ada momen yang menyenangkan bersama saudara-saudaranya seunit. Pencarian kemenangan bisa mengantar kita kepada keegoisan dan juga membawa suka cita jiwa kemenangan yang kita inginkan adalah persaudaraan.

Penyakit kedua yang terkait dengan perlombaan itu adalah pengejaran gelar, kemasyhuran, pengakuan akan kehebatannya sendiri. Di luar tembok biara, orang-orang sedang berlomba untuk mengejarkan hal-hal duniawi itu dan sepertinya semangat itu juga ada di dalam tembok itu. Memang hal itu juga positif ketika melalui perlombaan itu kita menghasilkan buah, melipatgandakan talenta yang diberi Tuhan, suatu tugas yang harus sungguh-sungguh kita perhatikan. Akan tetapi, ketika kita mengutamakan kemasyhuran dan kemenangan itu, kita kehilangan kerendahan hati, kejujuran dan muncullah keegoisan. Pernahkah kita mencari semua cara untuk unit kita menang? Pernahkah kita sungguh mengakui bahwa kita tidak pantas menerima hasil lomba itu melainkan saudara kita unit lain. Akan sangat indah jika kita sekuat tenaga berjuang dan juga secara jujur mengakui kelemahan dan kekurangan kita.

Satu konsekuensi dari pertandingan yang muncul ialah keegoisan dan ketertutupan. Jelaslah kalau pertandingan, kita berusaha untuk unit kita menang atas unit-unit lain. Tetapi keinginan itu jika sampai membuat kita tidak mau membantu bila diminta, tidak mau berbagi jika saudara lain sangat perlu, sampai kita berbuat baris di antara “kita” dan “mereka” maka pertandingan itu sudah merobohkan tali persaudaraan, menguncikan kita di dalam keegoisan kita. Pernahkah ada barang-barang yang tidak lagi digunakan oleh unit kita tapi kalau diminta unit lain, kita menolakkannya. Satu hal lain sebagai konsekuensi dari perlombaan itu adalah ejekan dan lelucon. Sebenarnya hal itu sangat netral dan bahkan berguna jika digunakan dengan maksud baik dan secukupnya. Ejekan dapat membangkitkan rasa percaya diri, keinginan membuktikan diri dan dari situ membuat orang makin berjuang dan makin baik. Akan tetapi ejekan dan lelucon juga dapat merendahkan orang, menghancurkan kepercayaannya dan mematikan niat-niat baik seseorang. Memang kebanyakan ejekan kita berada dalam lingkup persaudaraan, tetapi menurut saya, ejekan atau lelucon yang dibuat berdasarkan kelemahan orang itu bukanlah suatu kebiasaan yang baik. Tertawaan kita dalam persaudaraan hendaklah berdasarkan hal-hal yang positif dan baik. Coba bayangkan kita kelak juga menggunakan kelemahan umat atau saudara lain untuk membuat orang tertawa, di mana lagi semangat kerendahan hati dan kesederhanaan Kapusin kita.

Terima kasih para saudara sebab ada juga banyak saudara yang dapat melepaskan diri dari pengaruh buruk tersebut. Di sana saya melihat mereka itu berusaha memberi kesempatan untuk semua anggota unit mengikuti pertandingan tanpa menghiraukan hasilnya sebab yang mereka menuju bukan kemenangan pertandingan melainkan persaudaraan. Di tempat yang lain, saya melihat mereka sangat peduli akan saudara yang sakit, yang kurang mampu dan bahkan mengorbankan hasil perlombaan mereka demi keamanan dan ketenangan saudara tersebut. Di tempat lain lagi, saya melihat mereka yang bersedia membantu dan mendukung saudara-saudara yang beda unitnya dll. Semua tindakan itu jauh lebih bermakna dari pada gelar “juara” sebab ia membangun persaudaraan dan spiritualitas Kapusin kita. Lalu, apa salah jika kita mengurangi jumlah lomba untuk membuat sesuatu bagi tetangga dan umat beriman dalam jangka waktu pesta Bapa kita seperti usulan dari seorang saudara. Justru dalam kegiatan itulah kita menjadi saudara bagi sesama, kita menjadi berkat dan kita dapat membawa sukacita Bapa kita bagi semua orang. Kemenangan memang membawa sukacita tetapi pendek waktunya sedangkan kebaikan membawa suka cita yang lebih lama dan lebih mendalam.

Semoga semua kegiatan dalam rangka pesta Bapa kita Fransiskus tidak hanya membuat kita berhenti pada kemenangan atau pun juara-juara itu melainkan menjadi semangat yang selalu mengobarkan kita untuk hidup sebagai seorang saudara dina Kapusin sejati. Semoga kita semakin serupa dengan Bapa kita dalam kerendahan hati, kesederhanaan, cinta kasih, suka cita dan semangat persaudaraan. Semoga dan semoga.

0 comments:

Post a Comment