Panggilan pertama dan utama bagi setiap orang Kristen adalah menjadi sempurna seperti Bapa yang di surga (bdk. Mat 5:48). Dan bahkan panggilan religius jugalah jalan yang lebih fokus pada kesempurnaan itu. Maka kita diajak, diundang untuk memperbaiki diri, memperbaharui diri terus-menerus untuk mencapai kesempurnaan yang diharapkan Tuhan bagi kita semua. Akan tetapi, dengan keterbatasan manusia sendiri tidak dapat melihat diri sendiri secara total dan sepenuhnya. Saat itu, kita memerlukan orang lain yang dapat melihat diri kita dari sudut pandang lain, yang dapat memberitahu kita apa yang kita perbuat, bereaksi dan barang kali kita tidak sadari. Correctio fraterna merupakan sarana yang baik untuk membantu setiap saudara menyempurnakan diri sesuai kehendak Tuhan. Kegiatan itu bukan hanyalah cara untuk saling membantu tetapi juga menjadi kesempatan untuk saling menguatkan dan membangun persaudaraan secara efektif.
Mulai tahun postulat, saya mengikuti
kegiatan correctio fraterna dengan semangat karena saya sendirilah
seorang yang ingin sungguh-sungguh mengenal diri. Dengan demikian saya dapat
mengembangkan diri, menjadikan diri seorang yang baik dan berguna bagi sesama.
Tambah lagi, saya tidak mau hanya menjadi seorang sempurna bagi saya sendiri
tetapi menjadi seorang saudara bagi sesama. Dan saya sungguh dapat merasakan
nilai-nilai positif yang dihasilkan dari kegiatan ini. Saat di Novisiat, correctio
fraterna sangat mengesankan sebab setiap saudara dilihat, dinilai secara
teliti dan penuh dari semua sudut pandang. Tahun ini, mungkin karena tertekan
oleh jumlah yang cukup banyak sedangkan waktunya cukup singkat, apalagi kami
tinggal di unit masing-masing dan terbagi-bagi dalam segala kegiatan di Alverna
ini, jadi penilaian para saudara tampaknya singkat dan belum cukup mendalam.
Akan tetapi, jika melihatnya dari segi lain, penilaian itu dapat memberitahu
bahwa apakah penampilan saya selama ini termasuk hal yang diperbuat secara
sengaja atau tidak sengaja, siapakah saya ketika dilihat dari jauh dan hal-hal
yang paling menonjol akan tampak secara terjelas.
Bagi para saudaraku, saya adalah seorang
pendoa, bersemangat, mau berbagi, humoris, suka menolong, bersaudara,
bertanggung jawab, rajin, aktif, jujur, ramah, gampang tersenyum, beradaptasi,
disiplin, bertekun, kreatif, baik hati, sopan, berbau
dengan semua, pintar, mandiri, bekerja keras, tegas, sabar, potensi,
berkekapusinan, fokus pada tujuan hidup, imbang dalam hidup, lemah-lembut,
berbakat, konstruktif, kerja berkualitas, memberi diri, tunjukkan diri, taat,
setia, baik dalam mengatur waktu, ringan tangan, peduli, teman kerja, rela
berkorban, “Bunda Maria”, “Santo Yosef” dan “Kasih”… Hal yang menyenangkan
hatiku ialah tidak susah untuk saudara-saudara menilai saya. Itu berarti saya
sudah cukup dekat dengan semuanya dan juga sudah cukup terbuka kepada semuanya
sehingga para saudaraku dapat mengenal saya dan cukup yakin untuk mengatakan
hal-hal tersebut. Saya mengakui bahwa di antara hal-hal positif tersebut,
banyak hal yang sungguh saya sadar sepenuhnya dan bertekad untuk
menghidupkannya dan menjadikannya kebiasaan dan keutamaan bagi saya. Misalnya,
saya selalu setia pada hidup doa karena saya, dengan pengalaman serta kesadaran
yang telah saya dapatkan selama hidup ini, tahu bahwa tanpa Tuhan saya tidaklah
apa pun, hidupku tidak ada sedikit arti. Jadi bukan karena tugas seorang
religius adalah doa maka saya berdoa, tetapi Tuhan sungguhlah sumber hidupku,
kekuatanku dan nafas hidupku. Atau saya dilihat sebagai seorang disiplin,
seimbang dalam hidup dan bertanggung jawab karena saya sadar bahwa saya tidak
dapat melayani siapa pun juga bila hidup saya tidak teratur,
bila saya tidak dapat mengatur hidupku secara baik. “Nemo dat quod non
habet”, tak seorang pun dapat memberi apa yang tidak dipunyainya. Jadi
tujuan pertama ialah mengembangkan diri tetapi bukan demi diri sendiri
melainkan demi pelayanan saudara-saudariku. Akhirnya, jika tujuanku adalah
melayani orang lain, masakan saya menunggu sampai saat berkaul kekal atau
penahbisan imamat barulah mulai. Oleh sebab itu, saya meletakkan permintaan
saudaraku di atas kepentinganku sendiri. Dengan demikian, saya tidak menolak
apa pun yang diminta saudara-saudaraku kecuali hal itu
menghasilkan hal buruk bagi saudara itu sendiri. Dasar bagi perbuatan-perbuatanku
bukanlah untuk dianggap baik oleh semua saudara melainkan cinta kasihku yang
menuntutku rela berkorban demi kebaikan orang lain yang adalah Tuhan sendiri. Suatu
hal yang terkesan bagiku ketika ada seorang saudara menilai saya dengan kata
“Bunda Maria”. Alasan menurutnya ialah karena saya lembut hati dan selalu sedia
menolong siapa pun bila diminta dan juga hidupku selalu terikat dengan Rosario.
Seorang saudara lain menggunakan kata “santo Yosef” karena ia melihat di dalam
saya ketenangan dan dengan diam-diam menolong saudara dalam kesesakan. Memang
saya tahu bahwa itu hanyalah satu pembandingan dan saya tidak pantas untuk
dibandingkan dengan “Bunda Maria” atau “santo Yosef” tetapi hal itu juga
menjadi dorongan untuk saya semakin berusaha untuk menjadi seorang putra Bunda
Maria dan seorang murid santo Yosef dalam menjalankan panggilan seorang
Kapusin.
“Homo erare est”, tak seorang pun tidak mempunyai kekurangan.
Selain hal-hal positif tersebut, para saudara yang cukup mengenal saya,
khususnya para saudara dari jajaran provinsi Medan juga menunjukkan beberapa
hal yang kurang baik dan perlu diperbaiki dari diriku sendiri, yakni: kurang
berolah raga, perfeksionis, lembut dalam cara ngomong serta gerak-gerik, segan
menegurkan saudara lain… Di antara hal-hal tersebut, memang ada hal yang saya
sadar dan memilihnya, contohnya tidak menegurkan saudara lain secara langsung.
Menurut pengalaman saya, teguran sering membuat orang lain
yang ditegur itu menjadi malu atau marah dan akibatnya dia tidak menerimanya
secara positif dan bahkan menghancurkan relasi di antara kami. Maka saya sering
menegurkan saudara lain dengan cara tidak langsung, yakni jika saudara itu lupa
tugasnya, saya akan mengerjakannya tanpa kata apa pun, jika saudara itu berbuat
suatu hal yang salah, saya akan memperbaikinya tanpa kata apa pun. Mungkin cara
itu tidak baik juga bila saudara itu tidak dapat menangkap apakah dia salah dan
sudah bersalah di mana. Bagi olah raga, saya mempunyai alasan lainnya. Saya
mengakui bahwa saya sama sekali tidak berbakat dalam hal olah raga, jadi saya
agak rendah diri khususnya ketika saya mengikuti suatu permainan dan membuat
tim saya kalah. Saat itu, saya merasa tanggung jawab saya atas kekalahan tim
saya itu. Sesungguhnya sejak masuk Kapusin, saya sudah sangat berusaha untuk
berpartisipasi dalam hal olah raga bukan hanya untuk menjaga kesehatanku
sendiri tetapi juga untuk membangun persaudaraan, semangat dan kerja sama.
Memang saya perlu berjuang lagi dalam hal ini. Salah satu kekurangan tersebut,
ada hal yang cukup sulit bagiku untuk diperbaiki ialah kelembutan. Saya tidak
sejak kapan tetapi sikap itu telah menjadi sebagian dalam diriku. Sudah lama
saya diingatkan dan saya sendiri juga menyadarinya akan tetapi sungguh sulit
untuk mengubah sikap itu. Ketika saya sama sekali sadar, saya dapat
mengontrolnya tetapi ketika tidak sadar, sikap itu sebagai bagian dari darahku
tampak secara bebas. Walaupun hal ini tidaklah suatu hal yang jahat atau
terlalu buruk tetapi mungkin sikap itu membuat beberapa orang merasa tidak
nyaman dan suka. Saya akan berusaha semampuku namun hal yang terpenting ialah
cinta kasih yang saya ingin sampaikan kepada siapa pun juga. Terdengar saya sedang membenarkan kekurangan saya tetapi saya
menyadarinya dengan jelas dan hari demi hari berjuang untuk memperbaiki diri
demi kebaikan bersama.
Di dalam kegiatan correctio fraterna
kali ini, suatu penilaian yang diberi oleh kebanyakan saudara ialah “kasih”.
Kebetulan tema bacaan minggu itu (bacaan pertama dari surat pertama rasul
Yohanes) adalah “kasih”, Tuhan adalah kasih… Dan ada saudara sudah mengatakan
“kasih” itu terlihat, terpenuhi pada saya; yang lain dari provinsi Medan
berkata bahwa selama hidup bersama, ia yakin bahwa kasih saya tidak
berpura-pura tetapi sungguh-sungguhnya. Hal yang membuat saya bahagia bukan
karena saya dipuji tetapi karena hal yang saya hidupi atau dengan kata lain,
identitasku telah menampak, yakni kasih. Tidak ingat persis kapan saya memilih moto
“Tu scis quia amo te”, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau (Yoh 21: 17c). Tetapi, dengan moto hidup itu, saya sungguh ingin menjadi “kasih”,
kasih akan Allah dan kasih akan sesama. Hari demi hari, saya membesarkan kasih
itu dalam diri saya. Kasih itu membuat saya tidak menolak kehendak Tuhan
walaupun hal itu membawa saya kepada salib-Nya. Kasih itu
membuat saya tidak dapat menolak permintaan saudara meskipun susah dan
merugikan diri saya sendiri. Kasih itu membuat saya tidak bisa menutup mata dan
telinga terhadap keluh kesah dan kesusahan saudaraku. Jika ingin membuktikan
diri, seseorang akan melakukan hal yang luar biasa sekali tetapi bila mencintai
sesama, seseorang akan melakukan hal yang biasa saja dengan ketekunan dan
kesabaran. Saya tidak dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, tetapi saya
sungguh ingin melakukan hal-hal kecil karena kasih akan Tuhan dan sesama. Dan
akhirnya, saya tidak berhenti pada saya melakukan segala-sesuatu karena kasih
tetapi karena “aku adalah kasih”.