Saya belum pernah lupa bahwa Yesus adalah pusat hidupku. Keyakinan itu bukan muncul karena dipelajari atau sebagai kewajiban bagi seorang religius melainkan berasal dari pengalaman pribadi di mana saya disadarkan bahwa tanpa Yesus hidup saya tak berarti dan tak bernilai. Sejak saat itu, saya selalu berusaha untuk mengarahkan hidupku kepadanya serta memusatkan hidupku pada-Nya. Dalam hidup panggilan, saya semakin menyadari betapa pentingnya menjadikan Yesus pusat hidup sebab jika tidak, saya sedang menyia-nyiakan hidup panggilan ini. Saya sering me-sharing-kan hal ini, yakni jika hidup panggilan adalah mengikuti Yesus, maka apa artinya bila kita mencari hal-hal yang lain selain Dia. Untuk itu, saya selalu menempatkan hidup rohani di atas segala-galanya meskipun di masa perkuliahan ini di mana kami saudara muda dituntut untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah. Saya sangat setuju dengan pernyataan ini: bukan seorang mahasiswa religius melainkan seorang religius mahasiswa. Sebab identitas utama saya bukan mahasiswa melainkan religius yang membaktikan diri kepada Allah seluruh hidupku. Oleh sebab itu, secara konkret saya selalu mengutamakan Ekaristi, Ibadat harian, meditasi, doa pribadi, devosi…dan berusaha untuk hadir selalu dalam segala perayaan rohani itu. Bukan saya tidak lelah atau tidak perlu berjuang untuk mengikuti segalanya itu tetapi saya sungguh-sungguh menerima kekuatan dari satu-satu sumbernya, yakni Allah sendiri. Bagi saya, hari baru akan kurang daya bila saya tidak menghadiri Misa dan Ibadat bukan karena kebiasaan melainkan saya sungguh-sungguh dikuatkan olehnya untuk menjalani sepanjang hari hidup di mana saya dapat memberikan diri secara tidak segan-segan untuk kepentingan saudara-saudara lain ataupun kerja-kerjaku pada hari itu juga. Hari demi hari, berkat merenungkan Sabda Allah saya diubah untuk menjadi pelayan yang penuh cinta dan kesabaran. Yesus telah mencintai kita sampai mati di kayu salib jadi saya sendiri juga menanggung segala penderitaan, kesulitan hidup, beban dari saudara lain dsb. Sebagai salib hidupku dan memikulnya sampai Golgotha agar di situ saya dapat mempersembahkan diriku sebagai kurban sembelihan bagi Allah yang mengasihi dan dikasihi saya. Makanya, saya memilih untuk menjadi koster untuk menyediakan lebih banyak waktu untuk Tuhan, juga berjuang untuk bermeditasi setengah jam sebelum ibadat pagi dalam ketenangan walaupun cepat atau lambat tidur tadi malam itu. Karena seperti Yesus dikuatkan oleh Bapa untuk menanggung penderitaan yang betapa besar itu dalam doa di kebun Gethsemane, saya juga dikuatkan dan dipulihkan tenaga dan cinta untuk menjalankan hari baru dengan semangat dan kasih. Tentu saja, selalu ada krisis dalam perjalanan panggilan, entah kebosanan, entah godaan, entah ketertarikan akan hal-hal di luar sana dsb. Tetapi setiap saat itu, saya lari ke depan Yesus (biasanya di kapel atau gereja) lalu duduk atau berlutut dan dalam keheningan itu, saya tahu bahwa Dia mengerti apa kesusahanku, apa pencobaanku dan apa penderitaanku. Yesus adalah yang dapat saya ceritakan segala sesuatu, yang dapat saya tertawa, bersenyum ataupun menangis di hadapan-Nya. Maka dalam perjumpaan pribadi itu, seringkali saya tidak mengatakan suatu pun, hanya membiarkan diri dihibur, dikuatkan, disembuhkan oleh-Nya. Walaupun dalam situasi krisis, saya selalu ada Yesus di samping saya bahkan terkadang saya tidak dapat menjumpai-Nya akan tetapi kepercayaan itu membimbing saya kepada kasih dan kepedulian-Nya di mana saya dapat dengan tenang berjalan dalam situasi krisis itu.
Sebenarnya, saya agak heran ketika
mengunjungi gereja-gereja di Indonesia karena di Vietnam, hampir semua gereja
meletakkan patung Bunda Maria dan Santo Yosef di dua belah altar, maka dapat
melihat betapa pentingnya peran santo Yosef dalam hidup beriman. Bagi umat di
Vietnam, santo Yosef adalah sang bapa yang melindungi semua keluarga dan cara
hidupnya adalah teladan bagi kaum bapak serta semua yang berperan utama dalam
keluarga ataupun dalam kelompok. Jadi, devosi kepada santo Yosef dianggap
sebagai perbuatan yang amat perlu demi kedamaian dan kesejahteraan keluarga
umat beriman. Saat saya mulai belajar Kitab Suci, saya memperhatikan bahwa di
dalam Injil, santo Yosef tidak berbicara apa pun. Hal itu membuat saya banyak
memikirkan: apakah karena para pengarang Injil belum pernah menjumpainya atau
Bunda Maria tidak menceriterakan apa pun tentang santo Yosef? Tetapi semua
teori itu tidak berdasar hanya mungkin sesungguhnya santo Yosef sangat sedikit
berbicara hingga hampir tidak. Ketika merenungkan kependiamannya, saya
tiba-tiba menyadari bahwa cara hidup beriman santo Yosef ialah ketenangan dan
kediamannya dalam relasi dengan Yesus. Hal yang bermakna ialah ketika seorang
telah masuk ke dalam relasi yang intim, yakni cinta kasih, tidak perlu lagi
berbicara karena dari hati ke hati, mereka dapat mengerti dan merasakan apa
yang muncul di dalam hati orang yang mereka cintai itu. Jadi, karena santo
Yosef mengasihi Bunda Maria dan Yesus maka tidak perlu lagi berbicara melainkan
mendengar, memahami dan melakukan apa yang mereka butuhkan. Saya memang
dikaruniai perasaan sensitif yang membantu saya dapat merasakan keadaan batin
atau pemikiran orang lain walaupun tidak dikatakannya. Tetapi mungkin saya
masih banyak berbicara meskipun demi kebaikan saudara yang lain. Apakah saya tidak
yakin bahwa hanya dengan perbuatan saja saudaraku akan mengerti kepedulianku
atau apakah saya belum cukup kasih untuk sungguh-sungguh mendengarkan dan
melakukan apa saja yang diperlukan demi perkembangan hidup saudaraku? Mungkin
keduanya benar akan tetapi dasar masalah itu adalah saya begitu belum cukup
mendalam dalam relasi dengan Allah seperti santo Yosef yang tidak takut akan
apa pun lagi entah pemikiran orang lain yang tidak benar tentang diri dan juga
yang telah menimba kekuatan yang amat besar dari Allah untuk memperbuat apa pun
juga demi saudara-saudari lain.
“Dalam cinta kasih, biarlah
kependiamanlah yang berbicara.”
Biara Alverna, tgl. 1 Mei 2021
Peringatan
Santo Yosef
Pelindung para buruh
0 comments:
Post a Comment