Saudara-saudaraku yang terkasih!
Inilah kali keempat saya dapat menyambut Pesta Bapa
Serafik Santo Fransiskus dari Assisi. Setiap tahun sejak Postulat di Vietnam, pesta
ini selalu meninggalkan kesan bagi saya yang sepertinya semakin menurun. Pesta yang
pertama sungguh-sungguh membawa sukacita dengan kegiatan-kegiatan yang bermakna
dengan puncaknya adalah Misa dan acara selanjutnya. Di Novisiat, saya juga
dapat mengalami sukacita itu dan ditingkatkan dengan mempersiapkan hati jiwa
lebih baik melalui rekoleksi, refleksi, doa dsb. Heran bagi saya bahwa rasa
suka cita itu berkurang saat di Alverna ini bahkan lebih tertekan dan terasa
beban. Di sini, kita merayakan Pesta Bapa kita dengan sangat banyak perlombaan,
kegiatan yang beraneka ragam tetapi hati saya merasa kesunyian dan kekosongan. Mengapa
begitu?
Mungkin ada banyak hal yang sungguh tidak cocok
bagi seorang saudara dina Kapusin. Jelaslah di mana ada perlombaan, di situ ada
pujian bagi orang kuat dan penghinaan bagi orang lemah. Yang orang banyak cari
dalam perlombaan adalah keunggulan, kemampuan tinggi, talenta dan bakat orang. Pencarian
itu memang positif ketika kita diberikan kesempatan untuk menunjukkan kehebatan
dan kemampuan kita agar dikembangkan lagi kemudian hari atau dapat digunakan demi
kebaikan bersama, entah talenta musik, olah raga, akal budi dll. Namun ketika kita
hanya berfokus pada nomor pertama, kita kehilangan persaudaraan yang seharusnya
meninggikan yang rendah, menguatkan yang lemah, memperhatikan yang kecil. Mungkin
beberapa kali kita tidak mau membiarkan seorang saudara seunit masuk ke dalam
pertandingan karena takut akan kegagalan. Dia sendiri yang mengetahui keterbatasannya
seharusnya didukung, diberi kesempatan atau secara sederhana ada momen yang
menyenangkan bersama saudara-saudaranya seunit. Pencarian kemenangan bisa
mengantar kita kepada keegoisan dan juga membawa suka cita jiwa kemenangan yang
kita inginkan adalah persaudaraan.
Penyakit kedua yang terkait dengan perlombaan itu
adalah pengejaran gelar, kemasyhuran, pengakuan akan kehebatannya sendiri. Di luar
tembok biara, orang-orang sedang berlomba untuk mengejarkan hal-hal duniawi itu
dan sepertinya semangat itu juga ada di dalam tembok itu. Memang hal itu juga
positif ketika melalui perlombaan itu kita menghasilkan buah, melipatgandakan talenta
yang diberi Tuhan, suatu tugas yang harus sungguh-sungguh kita perhatikan. Akan
tetapi, ketika kita mengutamakan kemasyhuran dan kemenangan itu, kita
kehilangan kerendahan hati, kejujuran dan muncullah keegoisan. Pernahkah kita mencari
semua cara untuk unit kita menang? Pernahkah kita sungguh mengakui bahwa kita
tidak pantas menerima hasil lomba itu melainkan saudara kita unit lain. Akan sangat
indah jika kita sekuat tenaga berjuang dan juga secara jujur mengakui kelemahan
dan kekurangan kita.
Satu konsekuensi dari pertandingan yang muncul
ialah keegoisan dan ketertutupan. Jelaslah kalau pertandingan, kita berusaha untuk
unit kita menang atas unit-unit lain. Tetapi keinginan itu jika sampai membuat
kita tidak mau membantu bila diminta, tidak mau berbagi jika saudara lain sangat
perlu, sampai kita berbuat baris di antara “kita” dan “mereka” maka pertandingan
itu sudah merobohkan tali persaudaraan, menguncikan kita di dalam keegoisan
kita. Pernahkah ada barang-barang yang tidak lagi digunakan oleh unit kita tapi
kalau diminta unit lain, kita menolakkannya. Satu hal lain sebagai konsekuensi
dari perlombaan itu adalah ejekan dan lelucon. Sebenarnya hal itu sangat netral
dan bahkan berguna jika digunakan dengan maksud baik dan secukupnya. Ejekan dapat
membangkitkan rasa percaya diri, keinginan membuktikan diri dan dari situ
membuat orang makin berjuang dan makin baik. Akan tetapi ejekan dan lelucon
juga dapat merendahkan orang, menghancurkan kepercayaannya dan mematikan niat-niat
baik seseorang. Memang kebanyakan ejekan kita berada dalam lingkup persaudaraan,
tetapi menurut saya, ejekan atau lelucon yang dibuat berdasarkan kelemahan
orang itu bukanlah suatu kebiasaan yang baik. Tertawaan kita dalam persaudaraan
hendaklah berdasarkan hal-hal yang positif dan baik. Coba bayangkan kita kelak
juga menggunakan kelemahan umat atau saudara lain untuk membuat orang tertawa,
di mana lagi semangat kerendahan hati dan kesederhanaan Kapusin kita.
Terima kasih para saudara sebab ada juga banyak
saudara yang dapat melepaskan diri dari pengaruh buruk tersebut. Di sana saya melihat
mereka itu berusaha memberi kesempatan untuk semua anggota unit mengikuti
pertandingan tanpa menghiraukan hasilnya sebab yang mereka menuju bukan
kemenangan pertandingan melainkan persaudaraan. Di tempat yang lain, saya melihat
mereka sangat peduli akan saudara yang sakit, yang kurang mampu dan bahkan
mengorbankan hasil perlombaan mereka demi keamanan dan ketenangan saudara
tersebut. Di tempat lain lagi, saya melihat mereka yang bersedia membantu dan
mendukung saudara-saudara yang beda unitnya dll. Semua tindakan itu jauh lebih
bermakna dari pada gelar “juara” sebab ia membangun persaudaraan dan
spiritualitas Kapusin kita. Lalu, apa salah jika kita mengurangi jumlah lomba untuk
membuat sesuatu bagi tetangga dan umat beriman dalam jangka waktu pesta Bapa
kita seperti usulan dari seorang saudara. Justru dalam kegiatan itulah kita
menjadi saudara bagi sesama, kita menjadi berkat dan kita dapat membawa
sukacita Bapa kita bagi semua orang. Kemenangan memang membawa sukacita tetapi
pendek waktunya sedangkan kebaikan membawa suka cita yang lebih lama dan lebih
mendalam.
Semoga semua kegiatan dalam rangka pesta Bapa kita Fransiskus tidak hanya membuat kita berhenti pada kemenangan atau pun juara-juara itu melainkan menjadi semangat yang selalu mengobarkan kita untuk hidup sebagai seorang saudara dina Kapusin sejati. Semoga kita semakin serupa dengan Bapa kita dalam kerendahan hati, kesederhanaan, cinta kasih, suka cita dan semangat persaudaraan. Semoga dan semoga.